SHALAT DUHA

SHALAT DUHA

 

Oleh

Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul

 

 

Keutamaan Shalat Dhuha

Mengenai keutamaan shalat Dhuha, telah diriwayatkan beberapa hadits yang

diantaranya dapat saya sebutkan sebagai berikut

 

Dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

beliau bersabda

 

“Bagi masing-masing ruas[1] dari anggota tubuh salah seorang di antara kalian

harus dikeluarkan sedekah. Setiap tasbih (Subhanallah) adalah sedekah, setiap

tahmid (Alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahtil (Laa Ilaaha Illallaah)

adalah sedekah, menyuruh untuk berbuat baik pun juga sedekah, dan mencegah

kemunkaran juga sedekah. Dan semua itu bisa disetarakan ganjarannya dengan dua

rakaat shalat Dhuha”. Diriwayatkan oleh Muslim[2]

 

Hadits Abud Darda dan Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhuma, dari Rasulullah

Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahamulia,

dimana Dia berfirman.

 

“Wahai anak Adam, ruku’lah untuk-Ku empat rakaat di awal siang, niscaya Aku

mencukupimu di akhir siang” Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi[3]

 

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia bercerita, dia berkata :”Tidak ada

yang memelihara shalat Dhuha kecuali orang-orang yang kembali kepada Allah

(Awwaab)”. Dan dia mengatakan, “Dan ia merupakan shalatnya orang-orang yang

kembali kepada Allah (Awwaabin)”. Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan

Al-Hakim. [4]

 

Hukum Shalat Dhuha

Hadits-hadits terdahulu dan juga yang semisalnya menjelaskan bahwa shalat Dhuha

pada waktu Dhuha (pagi hari) merupakan suatu hal yang baik lagi disukai. [5]

 

Selain itu, di dalam hadits-hadits tersebut juga terkandung dalil yang

menunjukkan disyariatkannya kaum muslimin untuk senantiasa mengerjakannya. [6]

 

Dan tidak ada riwayat yang menujukkan diwajibkannya shalat Dhuha

 

Waktu Shalat Dhuha

Waktu shalat Dhuha dimulai sejak terbit matahari sampai zawal (condong). Dan

waktu terbaik untuk mengerjakan shalat Dhuha adalah pada saat matahari terik.

 

Dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah sebagai berikut.

 

Adapun permulaan waktunya, telah ditunjukkan oleh hadits Abud Darda dan Abu

Dzar Radhiyallahu ‘anhuma terdahulu. Letak syahidnya di dalam hadits tersebut

adalah ; “Ruku-lah untuk-Ku dari awal siang sebanyak empat rakaat”.

 

Demikian juga riwayat yang datang dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, dia bercerita,

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda.

 

“Barangsiapa mengerjakan shalat shubuh dengan berjama’ah lalu duduk berdzikir

kepada Allah sampai matahari terbit dan kemudian mengerjakan shalat dua raka’at

[7], maka pahala shalat itu baginya seperti pahala haji dan umrah, sepenuhnya,

sepenuhnya, sepenuhnya” [8]

 

Dari Abu Umamah, dia bercerita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

bersabda.

 

“Barangsiapa mengerjakan shalat Shubuh berjama’ah di masjid, lalu dia tetap

berada di dalamnya sehingga dia mengerjakan shalat Dhuha, maka pahalanya

seperti orang yang menunaikan ibadah haji atau orang yang mengerjakan umrah,

sama persis (sempurna) seperti ibadah haji dan umrahnya”. Diriwayatkan oleh

Ath-Thabrani.

 

Dan dalam sebuah riwayat disebutkan.

 

“Barangsiapa mengerjakan shalat shubuh dengan berjama’ah, kemudian dia duduk

berdzikir kepada Allah sampai matahari terbit…” Diriwayatkan oleh

Ath-Thabrani.[9]

 

Adapun keluarnya waktu shalat Dhuha pada waktu zawal, karena ia merupakan

shalat Dhuha (pagi).

 

Sedangkan waktu utamanya telah ditunjukkan oleh apa yang diriwayatkan dari Zaid

bin Arqam, bahwasanya dia pernah melihat suatu kaum yang mengerjakan shalat

Dhuha. Lalu dia berkata “Tidaklah mereka mengetahui bahwa shalat selain pada

saat ini adalah lebih baik, karena sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi

wa sallam telah bersabda.

 

“Shalat awaabiin (orang-orang yang kembali kepada Allah) adalah ketika

anak-anak unta sudah merasa kepanasan”[10]. Diriwayatkan oleh Muslim [11]

 

Jumlah Rakaat Shalat Dhuha Dan Sifatnya

Disyariatkan kepada orang muslim untuk mengerjakan shalat Dhuha dengan dua,

empat, enam, delapan atau dua belas rakaat.

 

Jika mau, dia boleh mengerjakannya dua rakaat dua rakaat.

Adapun shalat Dhuha yang dikerjakan dua rakaat telah ditunjukkan oleh hadits

Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

 

“Bagi masing-masing ruas dari anggota tubuh salah seorang di antara kalian

harus dikeluarkan sedekah …Dan semua itu setara dengan ganjaran dua rakaat

shalat Dhuha” Diriwayatkan oleh Muslim.[12]

 

Sedangkan shalat Dhuha yang dikerjakan empat rakaat, telah ditunjukkan oleh Abu

Darda dan Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhuma, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa

sallam, dari Allah yang Mahaperkasa lagi Mahamulia, dimana Dia berfirman

:”Wahai anak Adam, ruku’lah untuk-Ku empat rakaat di awal siang, niscaya Aku

akan mencukupimu di akhir siang” Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi. [13]

 

Sedangkan shalat Dhuha yang dikerjakan enam rakaat, ditunjukkan oleh hadits

Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu : “Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

pernah mengerjakan shalat Dhuha enam rakaat” Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi di

dalam kitab Asy-Syamaa-il. [14]

 

Dan shalat Dhuha yang dikerjakan delapan rakaat ditunjukkan oleh hadits Ummu

Hani, di mana dia bercerita :”Pada masa pembebasan kota Makkah, dia mendatangi

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau berada di atas tempat

tinggi di Makkah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beranjak menuju

tempat mandinya, lalu Fathimah memasang tabir untuk beliau. Selanjutnya,

Fatimah mengambilkan kain beliau dan menyelimutkannya kepada beliau. Setelah

itu, beliau mengerjakan shalat Dhuha delapan rekaat” [15] Diriwayatkan

Asy-Syaikhani. [16]

 

Sedangkan shalat Dhuha yang dikerjakan dua belas rakaat ditunjukkan oleh hadits

Abud Darda Radhiyallahu ‘anhu, di mana dia bercerita, Rasulullah Shallallahu

‘alaihi wa sallam bersabda.

 

“Barangsiapa mengerjakan shalat Dhuha dua rakaat, maka dia tidak ditetapkan

termasuk orang-orang yang lengah. Barangsiapa shalat empat rakaat, maka dia

tetapkan termasuk orang-orang yang ahli ibadah. Barangsiapa mengerjakan enam

rakaat maka akan diberikan kecukupan pada hari itu. Barangsiapa mengerjakan

delapan rakaat, maka Allah menetapkannya termasuk orang-orang yang tunduk dan

patuh. Dan barangsiapa mengerjakan shalat dua belas rakaat, maka Allah akan

membangunkan baginya sebuah rumah di Surga. Dan tidaklah satu hari dan tidak

juga satu malam, melainkan Allah memiliki karunia yang danugerahkan kepada

hamba-hamba-Nya sebagai sedekah. Dan tidaklah Allah memberikan karunia kepada

seseorang yang lebih baik daripada mengilhaminya untuk selalu ingat kepada-Nya”

Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani.[17]

 

Dapat saya katakan bahwa berdasarkan hadits-hadits ini, diarahkan kemutlakan

yang diberikan Sayyidah Aisyah Radhiyallahu ‘anha saat ditanya oleh Mu’adzah

:”Berapa rakaat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat

Dhua?” Dia menjawab : “Empat rakaat dan bisa juga lebih, sesuai kehendak Allah”

[18]

 

Dan shalat Dhuha yang dikerjakan dua rakaat dua rakaat, telah ditunjukkan oleh

keumuman sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :”Shalat malam dan

siang itu dua rakaat dua rakaat” [19]

 

Dan seorang muslim boleh mengerjakan shalat Dhuha empat rakaat secara

bersambungan, sebagaimana layaknya shalat wajib empat rakaat. Hal itu

ditunjukkan oleh kemutlakan lafazh hadits-hadits mengenai hal tersebut yang

telah disampaikan sebelumnya, seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa

sallam :”Ruku’lah untuk-Ku dari permulaan siang empat rakaat”. Dan juga seperti

sabda beliau :”Barangsiapa mengerjakan shalat (Dhuha) empat rakaat maka dia

ditetapkan termasuk golongan ahli ibadah” Wallahu a’lam

 

[Disalin dari kitab Bughyatul Mutathawwi Fii Shalaatit Tathawwu, Edisi

Indonesia Meneladani Shalat-Shalat Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa

sallam, Penulis Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, Penerbit Pustaka Imam

Asy-Syafi’i]

___________

Foote Note

[1]. Kata sulaamaa adalah bentuk mufrad (tunggal) dan jamaknya adalah

as-sulaamiyaatu yang berarti ruas jari-jemari. Kemudian kata itu dipergunakan

untuk seluruh tulang dan ruas badan. Lihat kitab, Syarh Muslim, An-Nawawi V/233

[2]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Muslim, di dalam kitab Shalaatut

Musaafirin wa Qashruha, bab Istihbaabu Shalaatidh Dhuha wa Anna Aqallaha

Rak’aatani wa Akmalaha Tsamaanu Raka’aatin wa Ausathuha Arba’u Raka’aatin au

Sittin wal Hatstsu ‘alal Muhaafazhati ‘alaiha, (hadits no. 720). Lihat juga

kitab, Jami’ul Ushuul (IX/436)

[3]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ahmad di dalam kitab, Al-Musnad (VI/440

dan 451). Dan juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzi di dalam Kitaabush Shalaah,

bab Maa Jaa-a fii Shalaatidh Dhuha, (hadits no. 475)

Mengenai hadits ini, At-Tirmidzi mengatakan : ‘Hasan gharib” Dan dinilai shahih

oleh Syaikh Ahmad Syakir di dalam tahqiqnya pada At-Tirmidzi. Juga dinilai

shahih oleh Al-Albani di dalam kitab, Shahih Sunan At-Tirmidzi, (I/147). Serta

dinilai hasan oleh muhaqqiq kitab, Jaami’ul Ushuul (IX/4370.

[4]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (II/228), Al-Hakim di dalam

kitab Al-Mustadrak (I/314), dan lafazh di atas milik keduanya. Diriwayatkan

juga oleh Ath-Thabrani di dalam kitab Al-Ausath (II/279-Majma’ul Bahrain) tanpa

ucapan :”Dan ia adalah shalatnya orang-orang yang kembali kepada Allah

(Awwaabiin)”.

Dan hadits di atas dinilai shahih oleh Al-Hakim dengan syarat Muslim. Dan

dinilai hasan oleh Al-Albani di dalam kitab, Silsilah Al-Ahaadiits

Ash-Shahiihah (hadits no. 1994).

[5]. Majmuu’al Al-Fataawaa (XXII/284)

[6]. Dan inilah yang tampak, yang ditunjukkan oleh hadits-hadits terdahulu.

(Nailul Authaar III/77).

Sedangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah setelah menetapkan

kesepakatan para ulama tas sunnahnya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

tidak mengerjakan shalat Dhuha secara terus menerus, kemudian menetapkan hukum

sunnatnya, dimana dia mengatakan : “Muncul pertanyaan : ‘Apakah yang lebih

baik, mengerjakan secara terus menerus ataukah tidak secara terus menerus

seperti yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Inilah di antara

yang mereka pedebatkan”. Dan yang lebih tepat adalah dengan mengatakan

;”Barangsiapa mengerjakan qiyaamul lail secara terus menerus, maka tidak perlu

lagi baginya untuk mengerjakan shalat Dhuha secara terus menerus. Sebagaimana

yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan barangsiapa yang

tertidur sehingga tidak melakukan qiyamul lail, maka shalat Dhuha bisa menjadi

pengganti bagi qiyamul lail” Majmu Al-Fataawaa (XXII/284).

Dapat saya katakan, (tetapi) lahiriyah nash menunjukkan disunnatkannya secara

mutlak untuk mengerjakan shalat Dhuha secara terus menerus. Dan Rasulullah

Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meninggalkan suatu amalan padahal beliau

sangat suka untuk mengerjakannya karena beliau takut hal tersebut akan

dikerjakan secara terus menerus oleh umat manusia sehingga akan diwajibkan

kepada mereka. Dan inilah illat (alasan) tidak dikerjakannya shalat Dhuha

secara terus menerus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan

demikian, nash-nash itu secara mutlak seperti apa adanya. Hal yang serupa

seperti itu telah diisyaratkan oleh Sayyidah Aisyah Radhiyallahu ‘anha, lihat

kitab Jaami’ul Ushuul (VI/108-109).

[7]. Ath-Thibi mengatakan : “Shalat ini disebut shalat Isyraq, yaitu permulaan

shalat Dhuha. Dia nukil di dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi (I/405)

Dapat saya katakan, telah saya sampaikan kepada anda mengenai hal itu yang

lebih luas dari sekedar isyarat ini. Lihat pembahasan tentang shalat Isyraq

sebelumnya.

[8] Hadits hasan lighairihi. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi di dalam Kitaabush

Shalah, bab Dzikru Maa Yustahabbu minal Julus fil Masjid Ba’da Shalaatish

Shubhi Hatta Taathlu’a Asy-Syams

Mengenai hadits ini, At-Tirmidzi mengatakan :”Hasan gharib”. Dengan beberapa

syahidnya, hadits ini dinilai hasan oleh Al-Mubarakfuri di dalam kitab Tuhfatul

Ahwadzi (I/406). Dan disepakati oleh Syaikh Akhmad Syakir di dalam tahqiqnya

pada At-Tirmidzi (II/481). Juga dinilai hasan oleh Al-Albani di dalam kitab

Shahih Sunan At-Tirmidzi (I/182). Dan dengan beberapa syahidnya, dinilai hasan

oleh muhaqqiq kitab Jaami’ul Ushuul (IX/401).

Dapat saya katakan, di antara syahidnya adalah hadist berikutnya.

[9]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di dalam kitab Al-Mu’jamul

Kabiir (VIII/174), 181 dan 209)

Sanad hadits di atas dinilai jayyid oleh Al-Mundziri dan Al-Haitsami. Dan

dinilai hasa oleh Al-Albani di dalam kitab Shahih At-Targhiib wa Tarhiib

(I/189). Dan lihat juga kitab, Majmu’uz Zawaa’id (X/104)

[10]. Di dalam kitab, Syarh An-Nawawi (VI/30). Imam Nawawi mengatakan :

Ar-Ramdhaa’ berarti kerikil yang menjadi panas oleh sinar matahari. Yaitu,

ketika anak-anak unta sudah merasa panas. Al-Fushail berarti anak unta yang

masih kecil”. Lihat juga, Nailul Authaar (II/81)

[11]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab Shalaatul

Musaafirin wa Qasruha, bab Shalatut Awaabiin Hiina Tarmudhil Fihsaal, hadits

no. 748.

[12]. Takhrijnya telah diberikan sebelumnya

[13]. Takhrijnya telah diberikan sebelumnya

[14]. Hadits shahih lighairihi. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi di dalam kitab

Asy-Syamaa’il, bab Shalatudh Dhuha, (hadits no. 273) hadits ini dinilai shahih

lighairihi di dalam kitab, Mukhtashar Asy-Syamaailil Muhammadiyyah, (hal. 156).

Beberapa sahid dan jalannya telah disebutkan di dalam kitab Irwaaul Ghaliil

(II/216).

[15]. Di dalam hadits tersebut terdapat bantahan bagi orang yang mengaku bahwa

shalat ini adalah shalat al-fath (pembebasan), bukan shalat Dhuha. Lihat kitab,

Zaadul Ma’ad (III/4100 dan juga Aunul Ma’buud (I/497)

[16]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam beberapa tempat di

antaranya : Kitaabut Tahajjud, bab Shalaatudh Dhuhaa fis Safar (hadits no.

1176). Dan juga Muslim di dalam Kitaabul Haidh, bab Tasturuk Mughtasil bi

Tsaubin au Nahwahu (hadits no. 336). Dan lafazh di atas adalah miliknya. Dan

lihat juga kitab Jaami’ul Ushuul (VI/110).

[17]. Hadits ini disebutkan oleh Al-Haitsami di dalam kitab Majma’uz Zawaa’id

(II/237) dan dia mengatakan : Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di dalam kitab

Al-Kabiir. Di dalamnya terdapat Musa bin Ya’qub Az-Zam’i. Dinilai tsiqah oleh

Ibnu Mu’in dan Ibnu Hibban serta dinilai dha’if oleh Ibnul Madini dan

lain-lainnya. Dan sisa rijalnya adalah tsiqah.

Dapat saya katakan, Musa bin Ya’qub seorang yang shaduq, yang mempunyai hafalan

buruk, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab, At-Taqriib (hal. 554). Dan

diriwayatkan oleh Al-Bazzar di dalam kitab Kasyful Astaar (II/334), yang

diperkuat oleh syahid dari Abu Dzar. Dan disebutkan oleh Al-Mundziri di dalam

kitab At-Targhiib. Hadits Abud Darda dan Abu Dzar Radhiyalahu ‘anhuma dinilai

hasan oleh Al-Albani di dalam kitab Shahih At-Targhiib wat Tarhiib (I/279).

[18]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab Shalatul Musafirin

wa Qasruha, bab Istihbaabu Shaalatid Dhuha wa Anna Aqallaha Rak’ataani wa

Akmalaha Tsamaanu Rak’atin wa Ausathuha Arba’u Rak’atin au Sittin wa Hatstsu

‘alal Muhaafazhati Alaiha, (hadits no. 719).

[19]. Hadits shahih. Takhrijnya sudah diberikan sebelumnya

Peringatan.

Ada sebuah riwayat untuk hadits Ummu Hani terdahulu dengan lafazh :

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam pernah mengerjakan shalat

Dhuha delapan rakaat. Beliau mengucapkan salam setiap dua rakaat’. Dan hadits

Ummu Hani asalnya terdapat di dalam kitab Ash-Shahihain, tetapi tidak dengan

lafazh ini.

Dan diriwayatkan oleh Abud Dawud di dalam Kitaabush Shalaah, bab Shalatudh

Dhuha (hadits no. 1234, II/234).

Dan dalam sanad yang ada pada keduanya terdapat Iyadh bin Abdillah. Yang

meriwayatkan darinya adalah Abdullah bin Wahb. Mengenai pribadi Iyadh ini. Abu

Hatim mengatakan :”Dia bukan seorang yang kuat”. Dan Ibnu Hibban menyebutnya di

dalam deretan tsiqat. As-Saaji mengatakan : “Darinya, Wahb bin Abdillah

meriwayatkan beberapa hadits yang di dalamnya masih mengandung pertimbangan”.

Yahya bin Ma’in mengatakan :”Dia seorang yang haditsnya dha’if”. Abu Shalih

mengatakan ;”Ditegaskan, dia memiliki kesibukan yang luar biasa di Madinah, di

dalam haditsnya terdapat sesuatu” Al-Bukhari mengatakan : “Haditsnya munkar”

Tahdziibut Tahdziib (VIII/201).

Dapat saya katakan, haditsnya di sini diriwayatkan oleh Ibnu Wahb, darinya.

Yang tampak secara lahiriyah dari keadaan orang ini, bahwa dia tidak

dimungkinkan untuk meriwayatkan seorang diri, sedangkan lafazh ini dia

riwayatkan sendiri. Wallahu a’lam

Dengan lafazh ini, hadits ini dinilai dha’if (lemah) oleh Al-Albani di dalam

komentarnya terhadap kitab Shahih Ibni Khuzaimah (II/234). Dalam penjelasannya,

dia menguraikan secara rinci illatnya di dalam kitab. Tamamul Minnah (hal.

258-259)

 

sumber: http://www.almanhaj.or.id/content/2357/slash/0

Dengan kaitkata

Tinggalkan komentar